Glitter Words

Minggu, 03 April 2011

Seputar Khitbah dalam Pandangan Islam

Oleh : Titin Erliyanti, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)
Di..kedalaman hatiku, tersembunyi harapan yang suci..
Ta..k, perlu engkau menyangsikan..
Le..wat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..

(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ad Coustic)
SyariahPublications.Com — Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada stadium yang akut (memangnya penyakit kanker.. ?).
I. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49).
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:

‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.”
(HR.Bukhari)
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligusmenikahinya.
Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
II. Proses Khitbah
Dalam beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:
a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Syamsudin Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
‘Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.
Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan, melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)
b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)
c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah
An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:

Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya
(HR.Ibnu Abbas)
Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:

‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’
(HR.Abu Hurayrah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar
(QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur [24]:30-31)
III. Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (Muhamad Thalib, 2002:69)
Bagi seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?
Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin ‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw. (ibid).
Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia
(HR.Muslim dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32)
*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)
Ataupun, juga perintah-Nya:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.


IV. Pembatalan Khithbah
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.
Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Rasulullah saw bersabda:
Sifat orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi, dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)
Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Muhammad Thalib (2002:76) mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan pinangan adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian orang.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.
Adapun berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim)
Demikianlah sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang terkait di dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada sahabat-sahabat untuk segera merealisasikan keinginan yang selama ini telah menggebu-deru, namun masih terpendam dalam seolah enggan untuk nampak kepermukaan karena terkekang oleh perasaan malu-malu dan unselfconffident. Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang wajar dan boleh kita lakukan dengan disertai adanya kesiapan untuk memikul apapun resikonya.
Wallahu’alam bi shawab.

 

Senin, 07 Maret 2011

Assalamualaikum Warahmatullah

Mempersilahkan seseorang yang dicintai untuk menikah dengan seseorang yang tepat ketika kita belum siap adalah bentuk dari sebuah pilihan yang bijaksana. Jika kita mencintainya karena ingin menjaga kesuciannya, bukankah dengan mempersilahkannya menikah maka kesuciannya akan terjaga daripada kesuciannya masih dapat terancam oleh orang lain ketika kita melarangnya untuk menikah dengan seseorang yang tepat baginya?

Saudaraku, bukankah tindakanmu ini begitu Indah?
Bukankah lebih baik ada yang menjaganya daripada kesuciannya terancam?
Bukankah usahamu ini akan berbuah Syurga?

Maka, Jangan bersedih orang2 yang ditinggalkan menikah oleh orang yang kalian harapkan. Karena pilihanmu begitu mulia...



Akhina Ifa Alhaqqu Mirrabbika February 19 at 4:06pm 

Kamis, 07 Oktober 2010

Ku Mencintamu utuh Tak Tersentuh

Artikel diambil dari Grup: Renungan Kisah Inspiratif Muslimah

Jika ada yang bertanya, bagaimana aku memandang perkara jodoh, maka akan ku jawab, bagiku sama saja kau menanyakan keyakinanku tentang kematian..
Jodoh dan kematian adalah rahasia-Nya yang tersembunyi dalam tabir keghaiban-Nya, dan tersimpan dengan indah dalam tiap lembar daun di lauhul mahfuzh..
Jangan pernah mengobral murah kehormatanmu untuk hal yang kau sendiri tak yakin kehakikiannya? Pahamkah maksudku?

Ku tanya padamu, pernahkah kau jatuh cinta? Ku akui, akupun juga… Tapi tak pantas bagi kita mengumbar rasa itu.. Rasa yg entah akan berlabuh di mana?Lalu pikirkan, jika dia yang kau cinta, yang mengganggu tidurmu, membuatmu menangis karena rindu, ternyata bukan atau mungkin tak kan pernah menjadi pendampingmu, atau bukan kau yang dia pilih? Tak malukah? Tak malukah?

Lalu, apa masih mampu kau tatap wajah suamimu kelak dengan cinta yang seutuhnya jika ternyata dulu kau pernah menaruh separuh hatimu pada lelaki lain… Wahai para lelaki, tak cemburukah? Tak cemburukah? Tak cemburukah kau jika saat ini wanita yang kau pilih kelak sedang menyerahkan hatinya pada lelaki selainmu, namun ternyata kau yang akan meminangnya.

Tak sakit hatikah bila ketika bersamamu, ternyata dia tengah membandingkanmu dengan sosok lain dalam hatinya? Tak sedihkah? Tak sakitkah? Tak cemburukah? Jika kau, para lelaki, menjawab 'ya' maka, itu pula yang kami, wanita, rasakan..
Takkan pernah bosan ku ingatkan, bahwa yang akan berlaku tetaplah ketetapan-Nya…. Sekuat apapun usaha kalian jika tak sejalan dengan kehendak-Nya, maka tak akan pernah terjadi.. . Lalu, buat apa kau mubazirkan waktumu? Untuk apa Kau kuras energi? Kerana apa kau habiskan airmatamu?.... untuk orang yang belum tentu menjadi milikmu? Untuk apa?

Dan ku katakan padamu. Mungkin kau yang akan memilihku belum ku cinta saat itu. Tapi ketahuilah, karena kau memilihku, kau ku cinta... Bukankah jatuh cinta adalah sebuah proses? Akan ada sebab, akan ada hal yang membuatku jatuh cinta padamu, dan kau pun akan mencintaiku.. Dan ketika itu terjadi, semua telah terangkai dengan indah dalam kerangka kehalalan, dalam ikatan pernikahan yang disebut mitsaqan ghalizhan..
Dan tak akan pernah ada ragu ku katakan kuserahkan cintaku UTUH TAK TERSENTUH, padamu.. Hanya padamu.. ya, hanya padamu dan untukmu

Rabu, 06 Oktober 2010

Ketika Akupun Berharap untuk Menukar cinta itu dengan Cinta dariMu

Bismillahirrahmanirrahiim...

Suatu hari pemuda itu bersedih ketika ia berpisah dengan cinta fananya. Ia bersedih bukan karena ia kehilangan cintanya, melainkan karena ia sadar bahwa ia pernah menaruh seseorang yang belum halal di dalam hatinya hingga iapun sulit untuk melepaskan kepergiannya. Ia kecewa bukan karena ditinggalkan oleh cinta fananya, tetapi dia kecewa mengapa tidak sejak awal ia menghentikan langkahnya untuk mengikuti langkah-langkah syaitan. Sekarang ia menangis, bukan karena ia kecewa, tetapi karena ia Bertaubat kepada Pemilik hatinya. Insya Allah ...

Akhirnya cinta yang fana itu berganti kepada Kecintaan dari Rabbnya yang Maha Pemurah, karena Taubat-taubatnya...

Karena:
... Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Al-Baqoroh:222

***
Mungkin masih banyak pemuda-pemudi seperti itu di jalan dakwah ini...
Jika tidak kita benahi langkah kita yang salah sejak awal, mungkinkah suatu saat kita akan sadar untuk membenahinya jika cinta yang fana itu justru membawa kita terlela dan lalai?

Bersyukurlah kalian yang Diingatkan Allah dengan perpisahan yang tidak pernah kalian harapkan itu, namun disitulah bukti Cinta dari Allah yang tidak meginginkan kalian terbakar oleh neraka yang kalian lahirkan dari perbuatan kalian yang sia-sia...

Allah sayang kepada kita, maka terimalah CintaNya...

Rabu, 27 Januari 2010

HATI-HATI Antara Cinta & Virus Merah Jambu


Antara Cinta & Virus Merah Jambu 

Tanpa bermaksud memperbesar masalah, saya kembali menuliskan seputar Virus Merah Jambu dalam note sederhana ini. Betapapun, permasalahan ini cukup berkembang di tengah aktifitas dakwah : dimana saja, kapan saja, dan bahkan bisa menyerang siapa saja.
Hasrat hati sebenarnya ingin mengingkari, tidak ingin membahas VMJ agar tidak menjadi ‘negative brand’ aktifitas dakwah yang mulia, agar tidak terngiang-ngiang di telinga para aktifisnya hingga menginspirasi yang belum ternodai. Tapi realita di lapangan menuntut untuk kembali bicara.

Bukan satu dua, tapi banyak jumlahnya yang mendatangi saya : baik secara langsung, maupun via sms dan email untuk curhat seputar Virus Merah Jambu tersebut. Sebagian mereka terkena telak menghujam, hingga susah untuk menghindar dan menjauhi. Sebagian masih terjaga penuh malu-malu, berharap ada solusi yang mengamini kecenderungan hatinya. Sungguh kita dan mereka itu sama, tak lebih dari sekedar manusia yang berhati dan mempunyai rasa.

Dari berbagai permasalahan seputar VMJ yang saya dapati, setidaknya ada dua fenomena yang masing-masing harus disikapi dengan bijak dan elegan.

Pertama : Virus Merah Jambu yang Full version !

Yaitu ketika aktifis dakwak terjebak dalam cinta lokasi. Berawal dari kekaguman yang diikuti dengan pola interaksi yang berkelanjutan baik sms, telpon, imel bahkan facebook sekalipun. Mengatasnamakan aktifitas dakwah dan koordinasi untuk menutupi kegelisahan di hati. Selalu berharap menemukan momentum untuk bertemu, beraktifitas bersama, bahkan berinteraksi secara pribadi. Agenda dakwah tidak lagi menjadi hal utama. Dakwah dan aktifitasnya menjadi ‘tumpangan’ yang enak untuk bisa terus menghubungi tambatan hati. Ia merajut hari dengan harapan segera keluar dari kungkungan virus ini, berharap ada malaikat penyelamat yang akan menikahkan mereka dengan mudah dan berkah. Tujuannya begitu mulia, menikah secepat mungkin agar hati menemukan ketentramannya. Tanpa melihat kesiapan diri sama sekali, dimana kuliah belum usai, biaya hidup pun masih menunggu kiriman orang tua tercinta. Inilah versi sesungguhnya dari virus merah jambu. Ia adalah obsesi dan gelora jiwa di usia muda, tak lebih dari sekedar ‘cinta monyet’ yang akan mengganggu konsentrasi kuliah dan dakwahnya.

Kepada mereka yang terkena pada tahapan ini, segeralah beristighfar dan menyibukkan dari dengan aktifitas kuliah dan dakwah. Kali ini dengan benar2 menjaga hati. Kepada para murobbi yang menangani kasus semacam ini : segera saja diarahkan untuk mengoptimalkan kesibukan dakwah, berikan tausiyah tentang bahaya virus merah jambu dalam menggerogoti dakwah ini. Maaf, tidak perlu kata ampun bahkan toleransi dalam tahapan ini.

Kali ini saya harus benar-benar tidak membuka peluang lebih lanjut, karena betapa banyak dakwah ternodai, orangtua cemas, kuliah tak berujung karena kita mencoba mencari solusi VMJ dalam tahapan ini.
Saya katakan sekali lagi : virus ini tidak ada hubungannya dengan pernikahan dini, ia tidak lebih dari ‘cinta monyet’ para aktifis dakwah yang harus segera dilawan dengan kesibukan dan kesadaran akan pentingnya masa depan !

Kedua : Kecenderungan dan Cinta yang Tumbuh di Hati

Yang ini adalah kecendungan pada seseorang dan cinta yang tumbuh di hati. Nyaris tanpa ekspressi apalagi interaksi. Ia hanya mengagumi tanpa mengeksplorasi lebih jauh objek kekagumannya. Ia bagaikan pungguk merindukan bulan, lalu enggan memikirkan hal tersebut lebih jauh dalam hari-hari dakwahnya. Ia menyimpan begitu dalam rasa itu, bahkan terkadang tidak menyadarinya. Ia mempunyai kesibukan dan agenda yang jelas menuju masa depannya.

Lalu tiba-tiba ia merasa siap untuk menikah. Perkuliahan yang dijalani tinggal satu dua bulan lagi atau mungkin telah lama ia pungkasi. Persiapan menuju pernikahanpun lebih tertata dan teruji. Orangtuanya pun tak merasa dilangkahi, mereka benar2 menyadari kedewasaan dan kesiapan sang buah hati dalam membina bahteranya sendiri. Lalu dengan siapa ia akan menikah ? Maka ia teringat kembali pada sosok yang pernah dikagumi, atau membuatnya simpati, atau membuatnya tertarik secara manusiawi begitu saja. Apakah ini cinta yang sudah tumbuh di hati ? Sungguh ia ingin berontak, karena selama ini ia mengingkari kecenderungan itu. Ia terbukti bisa menenggelamkan dan melawannya bahkan tanpa bekas dalam kehidupannya sehari-hari. Lalu mengapa rasa itu kembali muncul mengganggu lintasan pikirannya.

Rasa bingung segera menyergap pikirannya ? Apakah ia harus mengatakan yang sejujurnya pada sang Murobbi ? bahwa ada kecenderungan pada seseorang yang sudah tumbuh di hati ? Ataukah ia kembali menenggelamkannya sebagaimana hari-hari sebelumnya, lalu berusaha menumbuhkan rasa baru entah kepada siapa nantinya ?

Lantas, Bagaimana sikap Anda jika anda adalah para Murobbi ?

Jika suatu hari nanti kita mendapati kasus yang serupa dengan yang tertulis di atas. Kecenderungan di hati yang tumbuh pada diri seorang aktifis nyaris tanpa ekspressi apalagi interaksi yg berlebihan. Maka sungguh pilihan Anda cukup sederhana : jadilah seorang yang memudahkan pertemuan dua hati yang telah mempunyai kecenderungan itu. Jadilah ‘ustadz cinta’ yang mengelola kecenderungan menjadi tahapan dan langkah yang tertata menuju sebuah pernikahan. Semoga Anda termasuk mereka yang diberkahi karena membantu pernikahan karena ingin menjaga hati : Dari Abu Hurairah ra , Rasulullah SAW bersabda : “ Ada tiga orang yang wajib bagi Allah menolongnya : orang yang berjihad di jalan Allah, budak ‘Mukatib’ yang ingin membayar pembebasannya, dan seorang yang ingin menikah untuk menjaga dirinya “ (HR Tirmidzi)

Namun setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi pertimbangan kita, sebelum melangkah lebih lanjut dalam proses ini :
1- Pastikan dengan pertimbangan syar’I : bahwa seseorang yang diinginkannya bukan termasuk mahrom atau musyrik .
2- Pastikan dengan pertimbangan da’awi : bahkan seseorang yang diinginkannya tidak akan menghambat dakwahnya, justru malah mendukung dan menambah semangatnya dalam berdakwah.
3- Pastikan bahwa tidak ada pola interaksi yang salah sebelumnya. Tidak ada hubungan ‘backstreet’ yang telah lama dipupuk dan menyemaikan cinta lebih luas lagi hatinya.

Jika ada yang bertanya, apakah yang semacam itu ( menikah dengan cinta dan ketertarikan hati) adalah syar’I ? maka biarkan saya menjawabnya cukup dengan dua hadist yang sederhana.

Pertama : Rasulullah SAW bersabda : “Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”( HR Ahmad dan Abu Daud), dalam riwayat lain : “Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua (HR Tirmidzi dan Nasa'i)

Jika kita lihat secara lebih mendalam, maka hadits tersebut bukan saja ‘sekedar’ berisi kebolehan nadzhor atau melihat calon pasangan yang akan dikhitbah, tetapi juga memuat isyarat tentang boleh dan wajarnya sebuah “kecenderungan, dorongan dan ketertarikan” sebelum melangkah dalam pernikahan.

Kedua : Lebih spesifik lagi, Rasulullah saw bersabda : “ Tidak pernah terlihat (lebih menakjubkan) bagi dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan “ HR Ibnu Majah (1847) dan Ibnu Abi Syaibah (III/454)
Dalam Kitab Al-Luma’ fi asbabil wurud hadits , diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah tentang sebab wurudnya hadits di atas : Datang seorang laki-laki pada Rasulullah SAW dan berkata : Ya Rasulullah, kami mempunyai seorang anak gadis yatim yang dikhitbah oleh dua orang, yang satu miskin dan yang satu adalah orang kaya. Dia (anak gadis kami) cenderung (cinta) pada yang miskin, sementara kami lebih menyukai pada yang kaya. Maka Rasulullah bersabda dg hadits diatas : “ Tidak pernah terlihat (lebih menakjubkan) bagi dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan “

Wallahu a’lam bisshowab. Semoga tulisan ini tidak menjadi hujjah bagi mereka yang lemah dalam menjaga hati dan pandangan, tidak pula menjadi legitimasi bagi mereka yang terkotori hatinya dan ternodai dakwahnya dengan virus merah jambu.

Apapun yang kita alami, dalam dakwah ini kita tidak pernah sendiri. Segera hubungi murobbi untuk berkonsultasi, agar lebih terjaga diri dan tertata langkah dalam memperbaiki diri. Semua ini kami tulus untuk menjaga kualitas aktifis dakwah, agar semakin dekat kemuliaan dakwah dan kejayaan Islam yang dinanti-nanti. Saya tutup dengan ungkapan Abdullah bin Mas’ud : Cinta itu dari Allah dan kebencian itu dari syaitan, yang bermaksud memasukkan rasa benci dalam hatimu, terhadap apa yang dihalalkan Allah bagimu ( HR Abdurrozaq (VI/191) dinukil pula oleh Albani dalam Adab Zifaf)

Rabu, 09 Desember 2009

Hanya Itu Yang Aku Tahu

Ketika hati diketuk
Lidah kelu tidak     menjawab
Hanya Hati yang bicara
Aku tahu
Hatiku selalu jujur
Ketika aku mendengarkan suaranya
Dan Kupejamkan mataku
namun semuanya seakan hanya suatu yang tak mungkin..

Jumat, 27 November 2009

'Lady Ukhti Fillah Rahimakumullah November 24 at 11:12pm Reply
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
Bismillaahirrohmaanirrohiim.......


Hukum Perhiasan Wanita
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam atas dia yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, Nabi kita Muhammad, juga keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya, amma ba'du:

Dituntut dari wanita untuk mempraktekkan amalan-amalan fitrah yang khusus dan sesuai untuknya dengan memotong kuku dan menjaganya, karena pemotongan kuku merupakan amalan sunnah sebagaimana kesepakatan para ulama, juga karena ia termasuk dari bagian fitrah yang terdapat dalam Hadits, yang mana dalam pemotongannya terdapat kebersihan dan keindahan, sedangkan dalam pembiarannya untuk tetap panjang terdapat keraguan, penyerupaan dengan binatang buas, menumpuknya kotoran serta menahan sampainya air wudhu kedalamnya. Sebagian wanita Muslimah telah terfitnah dengan memanjangkan kuku dikarenakan oleh peniruannya terhadap wanita kafir dan karena kebodohannya terhadap sunnah.

Dituntut pula dari wanita Muslimah untuk memanjangkan rambut kepala, dan diharamkan bagi dia untuk memotongnya kecuali dalam keadaan darurat. Berkata Syeikh Muhammad bin Ibrahim Al-Syeikh rahimahullah dalam kitab Majmu Fatawa: [Adapun rambut kepala wanita, maka ia tidak boleh dipotong, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Nasa'i dalam kitab sunannya dengan sanad dari Ali , dan riwayat Al-Bazzar dengan sanadnya dalam Musnadnya dari Utsman , serta riwayat ibnu Jarir dengan sanadnya dari Ikrimah , mereka berkata: (Rasulullah telah melarang wanita dari memotong rambutnya). Sedangkan larangan apabila datang dari Nabi maka ia mengandung pengharaman selama tidak terdapat penyelisihnya. Berkata Mulla Ali Qori dalam kitab Al-Mirqot syarh Al-Misykat: perkataan (Wanita dari memotong rambutnya) itu karena ia merupakan pangkal bagi wanita, seperti jenggot pada pria dalam penampilan dan keindahan]

Sedangkan pencukuran wanita terhadap rambutnya, apabila diperlukan selain dari perhiasan –seperti dia yang tidak dapat merawatnya atau terlalu panjang dan menyulitkan dirinya- maka ia diperbolehkan untuk dicukur sesuai dengan kebutuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh istri-istri Nabi setelah beliau wafat, agar mereka dapat meninggalkan berhias setelah beliau wafat dan merasa tidak memerlukan pemanjangan rambut.

Adapun jika tujuan seorang wanita dalam mencukur rambutnya adalah untuk mengikuti wanita-wanita kafir dan fasik atau menyerupai laki-laki, maka yang seperti ini tidak diragukan lagi merupakan suatu keharaman, dikarenakan adanya larangan untuk menyerupai orang-orang kafir secara umum dan juga larangan wanita untuk menyerupai laki-laki.

Adapun jika tujuannya adalah untuk berhias, maka yang saya ketahui bahwa ia tidak diperbolehkan.

Berkata Syeikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi rahimahullah dalam kitab Adhwaul Bayan: [Sesungguhnya dari kebiasaan yang telah berjalan pada kebanyakan Negara tentang mencukurnya wanita terhadap rambut kepalanya hingga mendekati pangkalnya adalah merupakan kebiasaan wanita barat yang menyelisihi apa yang ada pada wanita-wanita Muslimah dan wanita-wanita Arab sebelum datangnya Islam, ia merupakan salah satu dari penyelewengan yang musibahnya mencakup agama, akhlak, ciri khas dan lain sebagainya]

Kemudian beliau menjawab tentang Hadits: (Bahwa para istri Nabi memotong rambut mereka sampai mendekati batas telinga). Bahwa mereka mencukur rambut-rambutnya setelah beliau wafat, karena mereka dahulu berhias pada saat beliau masih hidup, dan hiasan yang paling indah adalah rambut-rambut mereka, adapun setelah beliau wafat maka bagi mereka ada suatu hukum khusus yang tidak disamai oleh siapapun dari seluruh wanita yang ada dimuka bumi ini, yaitu terputusnya keinginan mereka secara keseluruhan dari pernikahan, dan keputus asaan mereka darinya tidak mungkin tercampur oleh perasaan tamak, mereka bagaikan wanita yang sedang beriddah dan terkurung sampai meningal dikarenakan oleh wafatnya Nabi, Allah berfirman:

" وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا "
"Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah" [QS. Al-Ahzab: 53] perasaan tidak membutuhkan lagi terhadap laki-laki secara keseluruhan bisa menjadi penyebab diperbolehkannya berlepas diri dari hiasan yang tidak diperbolehkan pada selainnya. Sebagaimana tidak diperbolehkannya bagi wanita untuk menta'ati suaminya ketika dia memerintahkan dirinya untuk melakukan hal tersebut, karena tidak ada keta'atan terhadap makhluk dalam berbuat maksiat kepada Sang Pencipta).

Oleh karena itu para wanita berkewajiban untuk memelihara rambut kepalanya, merawat dan mengikatnya, dia tidak diperbolehkan untuk menumpukkannya diatas kepala atau pada bagian depannya. Berkata syeikh Muhammad bin Ibrahim: [Adapun apa yang dikerjakan oleh sebagian wanita Muslimah pada zaman sekarang dari pembagian rambut kesamping dan mengumpulkannya pada bagian depan atau diatas kepala, sebagaimana yang dilakukan oleh wanita Barat – maka hal ini tidak diperbolehkan, karena adanya unsur peniruan terhadap wanita-wanita kafir]

عن أبي هريرة رضي الله عنه في حديث طويل قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " صنفان من أهل النار لم أرهما, قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس, ونساء كاسيات عاريات, مائلات مميلات, رؤوسهن كأسنمة البخت العجاف, لا يدخلن الجنة ولا يجدنا ريحها, وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا " )رواه مسلم (
Dari Abu Hurairah dalam Hadits yang panjang berkata: bersabda Rasulullah : "Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum pernah aku lihat: suatu kaum yang memiliki pecut seperti ekor sapi dan dipergunakan untuk memukul orang lain, dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang, berjalan sambil berlenggak-lenggok, kepala mereka bagaikan punuk unta, mereka tidak akan masuk surga dan tidak pula dapat mencium wanginya, padahal wangi surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian" [HR. Muslim] sebagian dari ulama ada yang menafsirkan sabda beliau: "berjalan sambil berlenggak-lenggok" bahwa para wanita menyisir miring, lalu diikuti oleh yang lainnya, dan ini adalah bentuk sisiran wanita Barat serta mereka yang menirunya dari para wanita Muslimah.

Sebagaimana wanita Muslimah dilarang untuk memotong rambut kepala atau mencukurnya tanpa adanya kebutuhan, maka sesungguhnya iapun dilarang untuk menyambung dan menambahnya dengan rambut lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim: [Rasulullah melaknat al-washilah dan al-mustaushilah], al-washilah: wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut lain, al-mustaushilah: wanita yang bekerja menyambungkan untuk orang lain, karena padanya terdapat pemalsuan.

Diantara penyambungan rambut yang diharamkan adalah pemakaian al-barukah (konde rambut) yang telah dikenal pada zaman sekarang ini. Bukhori, Muslim dan lainnya meriwayatkan: bahwa Mu'awiyah berkhutbah pada saat mendatangi Madinah, lalu mengeluarkan segumpalan rambut sambil berkata: kenapa wanita-wanita kalian menggunakan yang seperti ini pada kepalanya?! Saya telah mendengar Rasulullah bersabda: "Tidak ada seorang wanitapun yang memakai pada kepalanya rambut wanita lain kecuali ia telah melakukan kedustaan". Al-barukah adalah rambut buatan yang menyerupai rambut kepala, dan dalam pemakaiannya terdapat kedustaan.

Dan diharamkan pula atas wanita Muslimah untuk menghilangkan rambut alisnya atau menghilangkan sebagiannya, dengan cara apapun dari cukur, gunting atau menggunakan bahan perontok untuknya, karena ini adalah nams yang telah dilaknat pelakunya oleh Nabi , beliau telah melaknat an-namishoh wal mutanammishoh. An-namishoh: adalah wanita yang menghilangkan bulu kedua alisnya, atau sebagiannya dengan tujuan berhias –menurut persangkaannya-, dan mutanammishoh: adalah wanita yang mengerjakannya untuk orang lain. Ini termasuk dari perubahan atas ciptaan Allah yang telah diikrarkan oleh setan bahwa dia akan memerintahkan anak cucu Adam untuk melakukannya, sebagaimana yang telah Allah kisahkan dalam firman-Nya: "dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya" [QS. An-Nisaa: 119].

وفي الصحيح عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: " لعن الله الواشمات والمستوشمات والنامصات والمتنمصات والمتفلجات للحسن المغيرات خلق الله عز وجل "

Dalam shahih Bukhori, bahwasanya Ibnu Mas'ud berkata: (Allah melaknat wanita yang mentato dan minta ditato, mencabut bulu alis dan minta dicabutkan bulu alisnya, serta wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah merubah ciptaan Allah), kemudian beliau melanjutkan: (tidakkah aku melaknat dia yang telah dilaknat oleh Rasulullah ? Dimaksud oleh beliau adalah firman Allah Ta'ala: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah" [QS. Al-Hasyr: 7], permasalahan ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

selengkapnya= >

Rabu, 11 November 2009

Antara mata dan hati


”Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan perilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemiliknya berada di tepi jurang bahaya. Meskipun ia tidak sungguh-sungguh jatuh ke dalam jurang". Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin.

Beliau memberi wasiat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Ia juga mengutip bunyi sebuah sya’ir, "Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar yang awalnya berasal dari percikan api."

Hampir sama dengan bunyi sya’ir tersebut, sebagian salafushalih mengatakan, "Banyak makanan haram yang bisa menghalangi orang melakukan shalat tahajjud di malam hari. Banyak juga pandangan kepada yang haram sampai menghalanginya dari membaca Kitabullah."


Saudaraku,
Semoga Allah memberi naungan barakahNya kepada kita semua. Fitnah dan ujian tak pernah berhenti. Sangat mungkin, kita kerap mendengar bahkan mengkaji masalah mata. Tapi belum tentu kita termasuk dalam kelompok orang yang bisa memelihara pandangan mata. Padahal, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali tadi, orang yang keliru menggunakan pandangan, berarti ia terancam bahaya besar karena mata adalah pintu paling luas yang bisa memberi banyak pengaruh pada hati.

Menurut Imam Ibnul Qayyim, mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata, memiliki kenikmatan pandangan. Sedang yang kedua, hati, memiliki kenikmatan pencapaian. "Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu yang mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan, maka masing-masing akan saling mecela dan mencerai," jelas Ibnul Qayyim. Pemenuhan hasrat pencapaian seringkali menjadi dasar motivasi yang menggebu-gebu untuk mendapatkan atau menikahi seseorang. Padahal siap nikah dan siap jadi suami/istri adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama, nuansa nafsu lebih dominan; sedangkan yang kedua, sarat dengan nuansa amanah, tanggung-jawab dan kematangan.

Saudaraku,
Simak juga dialog imajiner yang beliau tulis dalam kitab Raudhatul Muhibbin: "Kata hati kepada mata, "kaulah yang telah menyeretku pada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman dan kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah, "Hendaklah mereka menahan pandangannya". Kau salahi sabda Rasulullah saw, "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut pada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman padanya, yang akan didapati kelezatan dalam hatinya." (HR.Ahmad)

Tapi mata berkata kepada hati, "Kau zalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan mengikuti jalan yang engkau tunjukkan. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati " (HR. Bukhari dan Muslim). Hati adalah raja. Dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya. Wahai hati, jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah kebaikanmu . Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta pada Allah, tidak suka dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma dan sifat-sifatNya. Allah berfirman, "Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada". (QS.AI-Hajj:46)

Saudaraku,
Banyak sekali kenikmatan yang menjadi buah memelihara mata. Coba perhatikan tingkat-tingkat manfaat yang diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa’i Syafi. "Memelihara pandangan mata, menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat. Memelihara pandangan, memberi nuansa kedekatan seorang hamba kepada Allah, menahan pandangan juga bisa menguatkan hati dan membuat seseorang lebih merasa bahagia, menahan pandangan juga akan menghalangi pintu masuk syaithan ke dalam hati.

Mengosongkan hati untuk berpikir pada sesuatu yang bermanfaat, Allah akan meliputinya dengan cahaya. Itu sebabnya, setelah firmanNya tentang perintah untuk mengendalikan pandangan mata dari yang haram, Allah segera menyambungnya dengan ayat tentang "nur", cahaya. (Al-Jawabul Kafi, 215-217)

Saudaraku,
Perilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain, kedipan mata apalagi kecenderungan hati, merupakan rahasia diri yang tak diketahui oleh siapapun, kecuali Allah swt, "Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati ". (QS. Al-mukmin:l9). Itu artinya, memelihara pandangan mata yang akan menuntun suasana hati, sangat tergantung dengan tingkat keimanan dan kesadaran penuh akan ilmuLlah (pengetahuan Allah) . Pemeliharaan mata dan hati, bisa identik dengan tingkat keimanan seseorang.

Saudaraku,
Dalam sebuah hadits dikisahkan, pada hari kiamat ada sekelompok orang yang membawa hasanat (kebaikan) yang sangat banyak . Bahkan Rasul menyebutnya, kebaikan itu bak sebuah gunung. Tapi ternyata, Allah swt tak memandang apa-apa terhadap prestasi kebaikan itu. Allah menjadikan kebaikan itu tak berbobot, seperti debu yang berterbangan. Tak ada artinya. Rasul mengatakan, bahwa kondisi seperi itu adalah karena mereka adalah kelompok manusia yang melakukan kebaikan ketika berada bersama manusia yang lain. Tapi tatkala dalam keadaan sendiri dan tak ada manusia lain yang melihatnya, ia melanggar larangan-larangan Allah (HR. Ibnu Majah)

Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan salah, adalah ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati termasuk dalam situasi kesendirian, karena ia menjadi bagian dari suasana yang tak diketahui oleh orang lain, "Hendaklah engaku menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya yakinilah bahwa Ia melihatmu". Begitu pesan Rasulullah saw. Wallahu’alam.

Kamis, 05 November 2009

HILANG

Menghilanglah dari kehidupanku
Enyahlah dari hati yang tlah hancur
Kehadiran sosokmu kan menyiksaku
Biarkan disini ku menyendiri


Pergilah bersamanya disana
Dengan dia yang ada segala
Bersenang-senanglah sepuasnya
Biarkan disini ku menyendiri

Terlintas keinginan 'tuk dadapat
Hilang ingatan agar semua terlupakan
Dan ku berlari sekencang-kencangnya
'tuk melupakanmu yang telah berpaling


Disini kembali kau hadirkan
Ingatan yang seharusnya ku lupakan
Dan ku hancurkan adanya
Disini kembali kau hadirkan

Ingatan yang seharusnya ku lupakan
Dan ku hancurkan adanya
Letih disini ku ingin hilang ingatan
Letih disini ku ingin hilang ingatan
Letih disini
Pergilah bersamanya disanaku ingin hilang ingatan
Letih disini ku ingin hilang ingatan



Pergilah bersamanya disana
Dengan dia yang ada segala

Minggu, 16 Agustus 2009

Wanita ber-Jilbab

Wanita ber-Jilbab

16 Agustus 2008 in Fatih Syuhud, Refleksi
Tags: jilbab, kerudung, niqab, wanita, wanita muslimah

Oleh A. Fatih Syuhud
Situs resmi: www.fatihsyuhud.com
Artikel ini ditulis untuk Buletin El-Ukhuwah PP Alkhoirot Putri

Sheikh Yusuf Qardhawi, ulama asal Mesir yang diakui kepakarannya dalam bidang hukum Islam, menegaskan wajibnya berjilbab bagi wanita Muslimah hal ini antara lain berdasarkan pada pengertian dari QS An Nur:31. Yang dimaksud berjilbab di sini adalah menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan. Menurut Qardhawi wajibnya wanita Muslimah berjilbab adalah ijmak—konsensus ulama dari berbagai bidang keahlian (Tafsir, Hadits, fiqh, tasawuf) dan kurun waktu dari dulu sampai sekarang.

Berdasarkan sebuah Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim, Islam mengandung tiga unsur pokok yang harus dimiliki dan terus dikembangkan oleh seorang Muslim yaitu Iman, Islam (syariah) dan ihsan.

Pertama, Iman. Iman atau keyakinan kepada Allah yang Tunggal dan kerasulan Muhammad, sebagai Nabi yang terakhir pembawa risalah Islam, menjadi tulang punggung (backbone) dari ajaran Islam. Tanpanya, seorang tidak lagi bisa disebut Muslim. Dalam Hadits tersebut ada empat lagi keimanan yang mesti diyakini yakni iman pada Al Quran, Malaikat, Hari Akhir dan ketentuan Allah (qadha dan qadar). Iman bertempat di hati.

Kedua, Syariah. Sebagaimana dikatakan Nurcholis Madjid dalam Islam dan Peradaban ketaatan pada syariah menjadi konsekuensi logis dari keimanan kita pada Allah dan Rasulnya (QS An Nisa 4:13). Keimanan tanpa dibarengi dengan ketaatan pada perintah Allah yang kita imani adalah keimanan yang semu.

Syariah mengandung lima unsur pokok yaitu membaca syahadat, shalat lima waktu, zakat, haji bagi yang mampu dan puasa di bulan Ramadhan. Ketaatan pada kelima unsur syariah di atas merupakan bukti minimal dari keislaman kita. Ketaatan seorang wanita Muslimah untuk berjilbab juga menjadi bagian dari ketaatan pada syariah ini.

Ketiga, Ihsan. Ihsan disebut juga dengan akhlaqul karimah atau budi pekeri yang luhur (QS Al Qalam 68:4). Ia disebut juga dengan syariah universal karena nilai-nilai yang ada di dalamnya diakui, dianut dan dipraktikkan tidak hanya oleh Muslim tapi juga oleh non Muslim di seluruh dunia. Ihsan mendapatkan penekanan pada sikap dan perbuatan yang bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri tapi juga harus mengandung manfaat bagi orang banyak. Selain itu muhsin (seorang yang berperilaku ihsan) tidak akan pernah terpikir untuk melakukan sesuatu yang merugikan umat manusia (QS Al Qashash 28:77).

Seorang Muslimah ideal adalah mereka yang memiliki ketiga unsur di atas: beriman, bersyariah dan berihsan. Pada kenyataannya menjadi muslimah ideal adalah hal yang sulit. Dan itu semua manusiawi. Selagi hidup dijadikan sebagai proses pembelajaran terus menerus untuk memperbaiki level keimanan, kesyariahan dan keihsanan, maka ketidaksempurnaan kita akan dimengerti.

Yang menjadi masalah adalah ketika kita berusaha mencari pembenaran (justifikasi) dari kekurangan kita. Seorang Muslimah berjilbab dan yang tidak berjilbab hendaknya terus introspeksi diri melihat kekurangan diri dan berusaha untuk belajar. Manusia memang tidak sempurna. Tapi lebih tidak sempurna lagi kalau kita tidak mau introspeksi dan selalu menyalahkan. Belajar dari siapapun yang memiliki kelebihan adalah perintah agama yang harus kita lakukan sampai akhir hayat sebagai proses menjadi seorang Muslimah ideal (QS Ali Imron 3:137).

riwayat hidupQ


aku anak desa yang semasa kecilku dibesarkan karanganyar,jawa tengah.


aku tiga bersaudara, 2 saudaraku perempuan semua, kakakku Andhita dyan Pramesti, adexku Cahyaning sekar pangesti.
aku dibesarkan oleh bapak n ibukku,,,, bapakku Suyamto n Ibukku Pawestriningsih,,,,
emh...paneh ya?? 
eh..temen2 jo...diisin2 ya...nie gie ajar aku.....
tlong kasih saran..ok!!
low kurang riwayatku,,,bleh nanya kog....ini terbuka buat kalian semua...heheh